Selain mengelola perkebunan, Cornelis
juga menyebarluaskan agama Kristen kepada para pekerjanya, lewat sebuah
Padepokan Kristiani. Padepokan ini bernama De Eerste Protestante Organisatie van Christenen, disingkat DEPOK. Dari sinilah rupanya nama kota ini berasal. Sampai saat ini, keturunan pekerja-pekerja Cornelis dibagi menjadi 12 Marga. Adapun marga-marga tersebut adalah :
- Jonathans
- Laurens
- Bacas
- Loen
- Soedira
- Isakh
- Samuel
- Leander
- Joseph
- Tholense
- Jacob
- Zadokh
Tahun 1871 Pemerintah Belanda mengizinkan
daerah Depok membentuk Pemerintahan dan Presiden sendiri setingkat
Gemeente (Desa Otonom).
Keputusan tersebut berlaku sampai tahun
1942. Gemeente Depok diperintah oleh seorang Presiden sebagai badan
Pemerintahan tertinggi. Di bawah kekeuasaannya terdapat kecamatan yang
membawahi mandat (9 mandor) dan dibantu oleh para Pencalang Polisi Desa
serta Kumitir atau Menteri Lumbung. Daerah teritorial Gemeente Depok
meliputi 1.244 Ha, namun dihapus pada tahun 1952 setelah terjadi
perjanjian pelepasan hak antara Pemerintah RI dengan pimpinan Gemeente
Depok, tapi tidak termasuk tanah-tanah Elgendom dan beberapa hak
lainnya.
Sejak saat itu, dimulailah pemerintahan
kecamatan Depok yang berada dalam lingkungan Kewedanaan (Pembantu
Bupati) wilayah Parung, yang meliputi 21 Desa. Pada tahun 1976 melalui
proyek perumahan nasional di era Orde Baru, dibangunlah Perumnas Depok I
dan Perumnas Depok II. Pembangunan tersebut memicu perkembangan Depok
yang lebih pesat sehingga akhirnya pada tahun 1981 Pemerintah membentuk
kota Administratif Depok yang peresmiannya dilakukan tanggal 18 Maret
1982 oleh Menteri Dalam Negeri (H. Amir Machmud).
Sejak tahun 1999, melalui UU nomor 15
Tahun 1999 Tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok dan
Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon, Depok meningkat statusnya menjadi
Kotamadya atau Kota. Menurut Undang-Undang tersebut, wilayah Kotamadya
daerah Tingkat II Depok memiliki uas wilayah 20.504,54 Ha yang meliputi :
- Kecamatan Beji, terdiri dari 6 kelurahan dengan luas wilayah 1614 Ha.
- Kecamatan Sukmajaya, terdiri dari 11 kelurahan dengan luas wilayah 3.398 Ha.
- Kecamatan Pancoran Mas, dengan pusat pemerintahan berkedudukan dikelurahan Depok, terdiri dari 6 Kelurahan dan 6 Desa dengan jumlah penduduk 156.118 jiwa dan luas wilayah 2.671 Ha.
- Kecamatan Limo, terdiri dari 8 desa dengan luas wilayah 2.595,3 Ha.
- Kecamatan Cimanggis, terdiri dari 1 kelurahan dan 12 desa dengan luas wilayah 5.077,3 Ha.
- Kecamatan Sawangan, terdiri dari 14 desa dengan luas wilayah 4.673,8 Ha.
ASAL USUL PONDOK CINA
Dulu, Pondok Cina hanyalah hamparan
perkebunan dan semak-semak belantara yang bernama Kampung Bojong.
Awalnya hanya sebagai tempat transit pedagang-pedagang Tionghoa yang
hendak berjualan di Depok. Lama kelamaan menjadi pemukiman, yang kini
padat sebagai akses utama Depok-Jakarta.
Kota Madya Depok (dulunya kota
administratif) dikenal sebagai penyangga ibukota. Para penghuni yang
mendiami wilayah Depok sebagian besar berasal dari pindahan orang
Jakarta. Tak heran kalau dulu muncul pomeo singkatan Depok : Daerah Elit Pemukiman Orang Kota. Mereka banyak mendiami perumahan nasional (Perumnas), membangun rumah ataupun membuat pemukiman baru.
Pada akhir tahun 70-an masyarakat Jakarta
masih ragu untuk mendiami wilayah itu. Selain jauh dari pusat kota
Jakarta, kawasan Depok masih sepi dan banyak diliputi perkebunan dan
semak belukar. Angkutan umum masih jarang, dan mengandalkan pada
angkutan kereta api. Seiring dengan perkembangan zaman, wajah Depok
mulai berubah. Pembangunan di sana-sini gencar dilakukan oleh pemerintah
setempat. Pusat hiburan seperti Plaza, Mall telah berdiri megah. Kini
Depok telah menyandang predikat kotamadya dimana selama 17 tahun menjadi
Kotif.
Sebagai daerah baru, Depok menarik minat pedagang-pedagang Tionghoa
untuk berjualan di sana. Namun Cornelis Chastelein pernah membuat
peraturan bahwa orang-orang Cina tidak boleh tinggal di kota Depok.
Mereka hanya boleh berdagang, tapi tidak boleh tinggal. Ini tentu
menyulitkan mereka. Mengingat saat itu perjalanan dari Depok ke Jakarta
bisa memakan waktu setengah hari, pedagang-pedagang tersebut membuat
tempat transit di luar wilayah Depok, yang bernama Kampung Bojong.
Mereka berkumpul dan mendirikan pondok-pondok sederhana di sekitar
wilayah tersebut. Dari sini mulai muncul nama Pondok Cina.
Menurut cerita H. Abdul Rojak, sesepuh
masyarakat sekitar Pondok Cina, daerah Pondok Cina dulunya bernama
Kampung Bojong. “Lama-lama daerah ini disebut Kampung Pondok Cina.
Sebutan ini berawal ketika orang-orang keturunan Tionghoa datang untuk
berdagang ke pasar Depok. Pedagang-pedagang itu datang menjelang
matahari terbenam. Karena sampainya malam hari, mereka istirahat dahulu
dengan membuat pondok-pondok sederhana,” ceritanya. Kebetulan, lanjut
Rojak, di daerah tersebut ada seorang tuan tanah keturunan Tionghoa.
Akhirnya mereka semua di tampung dan dibiarkan mendirikan pondok di
sekitar tanah miliknya. Lalu menjelang subuh orang-orang keturunan
Tionghoa tersebut bersiap-siap untuk berangkat ke pasar Depok.”
Kampung Bojong berubah nama menjadi
kampung Pondok Cina pada tahun 1918. Masyarakat sekitar daerah tersebut
selalu menyebut kampung Bojong dengan sebutan Pondok Cina.
Lama-kelamaan nama Kampung Bojong hilang dan timbul sebutan Pondok Cina
sampai sekarang. Masih menurut cerita, Pondok Cina dulunya hanya berupa
hutan karet dan sawah. Yang tinggal di daerah tersebut hanya berjumlah
lima kepala keluarga, itu pun semuanya orang keturunan Tionghoa.
Selain berdagang ada juga yang bekerja sebagai petani di sawah sendiri.
Sebagian lagi bekerja di ladang kebun karet milik tuan tanah
orang-orang Belanda. Semakin lama, beberapa kepala keluarga itu pindah
ke tempat lain. Tak diketahui pasti apa alasannya. Yang jelas, hanya
sisa satu orang keluarga di sana. Hal ini dikatakan oleh Ibu Sri,
generasi kelima dari keluarga yang sampai kini masih tinggal di Pondok
Cina.
“Saya sangat senang tinggal disini,
karena di sini aman, tidak seperti di tempat lain,”. Dulunya, cerita
Sri, penduduk di Pondok Cina sangat sedikit. Itupun masih terbilang
keluarga semua. “Mungkin karena Depok berkembang, daerah ini jadi ikut
ramai,” kenangnya. Satu-persatu keluarganya mulai pindah ke tempat lain.
“Tinggal saya sendiri yang masih bertahan
disini,” kata ibu Sri lagi. Sekarang daerah Pondok Cina sudah semakin
padat. Ditambah lagi dengan berdirinya kampus UI Depok pada pertengahan
80-an, di kawasan ini banyak berdiri rumah kost bagi mahasiswa.
Toko-toko pun menjamur di sepanjang jalan Margonda Raya yang melintasi
daerah Pondok Cina ini. Bahkan pada jam-jam berangkat atau pulang
kerja, jalan Margonda terkesan semrawut. Maklum, karena itu tadi,
pegawai maupun karyawan yang tinggal di Depok mau tak mau harus melintas
di Pondok Cina.
ASAL USUL MARGONDA
Margonda yang kini menjadi nama jalan
protokol dan pusat bisnis di Depok itu tidak diketahui persis asal
muasalnya. Konon, nama itu berasal dari nama seorang pahlawan yang
bernama Margonda. Keluarga yang mengklaim sebagai anak keturunan
Margonda sendiri (di Cipayung, Depok) sampai sekarang belum dapat
memberikan informasi mengenai sepak terjang atau lokasi makam Margonda.
Yang jelas, nama Margonda kini identik dengan Depok. Sebut saja
“Margonda”, maka pasti orang akan mengasosiasikannya dengan “Depok”,
beserta segala hiruk-pikuk aktivitasnya yang kian terus berkembang.
Posted on 11 May 2009 by : http://babesajabu.wordpress.com/2009/05/11/sejarah-kota-depok/
No comments:
Post a Comment